FORT ROTTERDAM. Untuk melindungi kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu, pemerintah Kerajaan Makassar membangun sejumlah benteng pertahanan sepanjang pesisir dari yang paling utara Benteng Tallo hingga yang paling selatan Benteng Barombong. Selain benteng, sepanjang wilayah pesisir kota juga dibangun tembok yang di depannya berjejer perahu dan kapal dagang dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, China, dan dari Eropa. (Foto: Asnawin)
---------------
Sejarah Kota Makassar (2-bersambung):
Membangun Tembok dan Benteng Pertahanan
Perang yang berakhir dengan pembentukan persekutuan kerajaan kembar Gowa-Tallo, berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk mengubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraria ke dunia maritim pada periode pemerintahan Raja Gowa IX, Tumapa'risi' Kallonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510-1546).
Kebijakan itu dilaksanakan mengingat semakin banyak arus migran pedagang Melayu ke kawasan ini setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511.
''Setelah melakukan persekutuan dua kerajaan itu, yang secara kesejarahan diperintah oleh raja dari keturunan yang sama, Kerajaan Kembar itu melaksanakan perluasan kekuasaan dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan pesisir dan memaksa mereka untuk melakukan perdagangan dengan bandar niaga Tallo dan Sombaopu,'' tutur sejarawan dari Unhas, Edward L Poelinggomang.
Raja Gowa ke-10, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565), yang menjadi pelanjut Raja Gowa ke-9, memandang kebijakan itu kurang memberikan peluang bagi kemajuan bandar niaga kerajaan kembar Gowa-Tallo.
Ia kemudian merancang penaklukan kerajaan-kerajaan pesisir dan kerajaan-kerajaan yang memiliki potensi ekonomi dengan kebijakan baru, yaitu memaksa kerajaan-kerajaan taklukan untuk tunduk dan patuh kepada Raja Gowa X, serta mengangkut orang dan barang dari negeri taklukan, khususnya yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim ke bandar Kerajaan Gowa-Tallo.
Akibat kebijakan itu, bandar-bandar niaga yang berada di pesisir jazirah selatan menjadi sirna, dan hanya ada dua bandar niaga, yakni bandar niaga Tallo dan bandar niaga Sombaopu.
Kedua bandar niaga itu secara fisik seolah-olah sudah menyatu dan membentang dari muara Sungai Bira (Sungai Tallo) hingga muara Sungai Jeneberang yang dipenuhi oleh para pedagang dari berbagai bandar niaga yang sebelumnya disebut Makassar.
Itulah yang kemudian mendasari para pedagang menyebut bandar niaga Tallo dan Sombaopu dengan sebutan Bandar Makassar, dan tidak menyebut Tallo Makassar atau Sombaopu Makassar.
Kerajaan kembar Gowa-Tallo juga kemudian disebut dengan nama Kerajaan Makassar, di mana Raja Gowa diangkat menjadi Raja, sedangkan Raja Tallo menjadi Mangkubumi atau Kepala Pemerintahan Kerajaan.
Bandar Makassar kemudian berkembang dan menjadi pusat kegiatan bagi para pelaut dan pedagang, termasuk pelaut dan pedagang dari Portugis pada 1532, Belanda (VOC) pada 1603, Inggris pada 1613, Spanyol pada 1615, Denmark pada 1618, dan China pada 1618.
''Berkumpulnya para pedagang di bandar Makassar, berhasil meningkatkan kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu,'' urai Edward.
Untuk melindungi kegiatan perdagangan di kota pelabuhan itu, pemerintah Kerajaan Makassar membangun sejumlah benteng pertahanan sepanjang pesisir dari yang paling utara Benteng Tallo hingga yang paling selatan Benteng Barombong.
Selain benteng, sepanjang wilayah pesisir kota juga dibangun tembok yang di depannya berjejer perahu dan kapal dagang dari berbagai kerajaan di Asia Tenggara, China, dan dari Eropa, sedangkan di balik tembok juga berlangsung kegiatan perdagangan, baik di pasar tradisional, maupun di rumah-rumah dagang. (asnawin/pr)
-----------
Keterangan:
-- Artikel ini dimuat di harian Pedoman Rakyat, Makassar, Rabu, 8 Agustus 2007, halaman 17/Humaniora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar